Solusi Yang Kita Punya dan Rintangan Yang Kita Hadapi di Hadapan Bencana Iklim
Perubahan iklim adalah bencana yang sedang terjadi, tidak besok, tidak pula kemarin. Beberapa orang terlampau optimis dengan mengatakan bahwa kita sudah memiliki segalanya untuk mencegah perubahan iklim, beberapa orang pula mengatakan bahwa teknologi di masa depan akan bisa mengatasi masalah iklim. “Tidak perlu takut” kata mereka. Sayangnya, hal ini jauh dari kebenaran. Kita belum memiliki segalanya untuk mencegah perubahan iklim, mencegah perubahan iklim tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan pengorbanan yang amat besar dari umat manusia untuk mencegah puncak dari bencana ini.
Hampir dari segi manapun belum ada sesuatu yang pasti, sesuatu yang bisa kita andalkan untuk mencegah perubahan iklim. Kebijakan pemerintah, kemauan pasar, dan inovasi menjadi pisau bermata dua. Ketika kita memiliki suatu solusi, sudah seperti hukum alam bahwa solusi tersebut akan melahirkan sesuatu masalah yang baru yang sebelumnya belum pernah kita pikirkan. Ketika kita memiliki panel surya, misalnya, timbul masalah bahwa panel surya membutuhkan lahan yang lebih banyak daripada bahan bakar fosil untuk menghasilkan satu watt listrik. Ketika saintis membuat inovasi yang cemerlang, sayangnya minim sekali investor yang berinvestasi. Jika pun investor berinvestasi, terkadang produk tersebut gagal di pasaran. Banyak hal yang akan kita hadapi, sementara kita tidak memiliki waktu. Seperti kata Bill Gates ini sukar tetapi harus. Tidak ada cara mudah untuk mempertahankan eksistensi umat manusia.
The climate is like a bathtub that’s slowly filling up with water. Even if we slow the flow of water to a trickle, the tub will eventually fill up and water will come spilling out onto the floor. That’s the disaster we have to prevent. Setting a goal to only reduce our emissions — but not eliminate them — won’t do it.
- Bill Gates
Benar bahwasanya iklim seperti bak mandi. Tak peduli seberapa kecil tetesan air jatuh ke dalam bak, lambat laun bak tersebut akan penuh juga. Tujuan untuk hanya mengurangi emisi karbon yang kita hasilkan, tidak akan berguna untuk mencegah perubahan iklim. Yang kita butuhkan adalah emisi nol. Fisika tidak bisa diakali begitu pula biologi, satu-satunya cara mengakali fenomena alam adalah dengan menggunakan perhitungan fisika yang benar. Tidak mungkin kita mengakali alam, satu-satunya cara mencegah perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi menjadi nol. Sains iklim hanya memberi tahu kepada manusia mengapa kita perlu menghadapi masalahnya, tapi bukan bagaimana menghadapinya. Mengapa dan bagaimana adalah dua hal yang berbeda.
Untuk mencegah iklim, rasanya sulit tidak mencampur baurkan disiplin ilmu yang lain. Sains bisa mendapatkan jawaban yang definitif untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi ketika kita memiliki premis umum bahwa seluruh manusia sama berharganya dengan yang lain, sulit rasanya untuk menetapkan jawaban sains yang definitif tersebut. Sains terjebak dalam dilema moral. Pantaskah jika mereka yang berkuasa, memutuskan mereka yang tidak berkuasa untuk memberhentikan pertumbuhan ekonomi agar tidak menyumbang emisi karbon ke udara? Sains yang definitif tampaknya kesulitan untuk menjawab ini.
Grafik yang dirilis oleh IEA; Bank Dunia, menunjukkan bahwa pendapatan dan penggunaan energi berbanding lurus. Semakin besar energi yang digunakan, semakin besar pula pendapatan mereka.
Dengan membuat energi lebih murah dan inklusif kita dapat memberantas kemiskinan yang terjadi. “Energi lebih murah bukan hanya berarti lampu pada malam hari,” Tulis Bill Gates “melainkan juga pupuk murah untuk ladang mereka dan semen murah bagi rumah mereka.” Masalah yang dihadapi manusia semakin berat, manusia bisa membuat energi semakin murah, tetapi jika tidak bersih manusia akan menambah emisi karbon semakin banyak. Manusia tidak hanya harus membuat energi lebih murah, tetapi harus bersih juga.
Konsekuensi logisnya dari grafik tersebut adalah, selagi manusia meningkatkan pendapatan mereka, manusia juga melakukan lebih banyak hal yang menyebabkan emisi. Itu alasannya kita perlu inovasi, agar orang miskin bisa memperbaiki kehidupan tanpa membuat perubahan iklim makin buruk. Tiongkok berhasil keluar dari kemiskinan. Tiongkok telah mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan, dan salah satu cara yang dilakukan Tiongkok adalah dengan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara murah. Tiongkok mampu menekan biaya pembangkit listrik batu bara sampai 75 persen. Sekarang seluruh negara perlahan-lahan sudah keluar dari kemiskinan, cepat atau lambat (jika tidak dicegah oleh bencana iklim terlebih dahulu) negara tersebut akan menyumbang emisi karbon yang sama banyaknya atau lebih banyak daripada negara maju yang telah mereka sumbang sekarang. Tentu tidak etis ketika orang-orang kaya menyuruh orang-orang miskin untuk tetap menjadi miskin, dengan alasan jika mereka kaya, mereka akan menambah polusi yang sudah ada, justifikasi akan tindakan mereka tersebut tidak bisa dibenarkan.
Kalaupun para ilmuwan telah menemukan energi terbarukan yang efisien dan murah untuk diterapkan di masyarakat, transisi teknologi yang diperlukan akan cukup lama. Transisi teknologi akan terjadi ketika teknologi terbaru harus diimplementasikan kedalam setiap lapisan masyarakat.
Perhatikan batu bara hanya naik 5 persen pasokan energi dunia ke hampir 50 persen dalam 60 tahun. Minyak mentah membutuhkan 60 tahun untuk menyuplai pasokan energi dunia sebanyak 30 persen. Sedangkan gas alam, dengan jangka waktu yang hampir sama hanya menyumbang sebanyak 20%. Energi terbarukan tampaknya akan menjalani masa panjang tersebut, untuk diimplementasikan ke seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali satupun. Masalahnya adalah, kita tidak memiliki waktu selama itu.
Berbeda dengan sumber energi lainnya, energi terbarukan belum cukup efisien, canggih, dan murah untuk diimplementasikan ke masyarakat. Kendaraan listrik misalnya, tidak bisa digunakan untuk jarak jauh. Semakin jauh jaraknya maka energi yang dibutuhkan semakin besar. Semakin besar energi yang dibutuhkan maka batere yang digunakan untuk menyimpan energi akan semakin besar dan semakin berat. Sekarang belum ada yang bisa membuat batere dalam bentuk kecil dan tidak berat yang bisa menyimpan energi cukup banyak. “Makin besar kendaraan yang mau digerakkan, dan makin jauh perjalanan tanpa mengisi daya, makin sukar menggunakan listrik sebagai sumber tenaga, menjadi hukum” tulis Bill Gates. Sangat tidak efisien rasanya pesawat serta kapal kontainer yang harus menyebrangi samudra harus mengisi bahan bakarnya setiap 3 jam sekali.
Ada beberapa ilmuwan yang menyarankan untuk penggunaan bahan bakar biologis sebagai alternatif. Sayangnya, bahan bakar biologis kontraproduktif dengan tujuan kita yaitu emisi nol karbon. Bahan bakar biologis adalah bahan bakar yang didapat dari bahan organik dari makhluk hidup seperti kayu, jagung, minyak sawit, ubi, kotoran hewan, sampah makanan, dan lain-lain. Salah satu masalahnya: etanol dari jagung tidak nol karbon, dan tergantung cara membuatnya, boleh jadi tidak rendah karbon. Bahan bakar biologis juga menyebabkan penanaman besar-besaran sawit, misalnya, penanaman ini merusak ekosistem, polusi air, erosi tanah, dan lain-lain. Saat menanam, kawasannya cenderung monokultur dan mengurangi keanekaragaman hayati yang ada. Di Indonesia hutan ditebang untuk dijadikan kebun sawit. Sawit juga adalah salah satu alasan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca keempat terbesar di dunia. Banyak yang membantah ini, mereka mengatakan bahwa sawit dibangun diatas tanah yang sudah gundul atau habis karena kebakaran hutan. Faktanya kebanyakan sawit dibangun diatas tanah yang dulunya adalah kawasan hutan rindang yang lalu ditebang, atau dibakar dan dibuat seolah-olah itu kecelakaan.
Ada pula yang menyarankan untuk menanam pohon sebagai salah satu pencegahan perubahan iklim. Tampaknya sumbangsih pohon untuk mencegah perubahan iklim cenderung dibesar-besarkan. Lahan berpohon dengan luas kira-kira 200.000 meter persergi di area tropis hanya bisa menyerap emisi yang dihasilkan rata-rata satu orang amerika sepanjang hidupnya. Dan pohon hanya menyerap 4 ton selama 40 tahun. Tetapi sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali, atau malah lebih buruk ketika kita menebang pohon dan menyumbang karbon. Dengan penebangan pohon, karbon yang sudah diserap oleh alam di luapkan lagi ke udara.
Pembangkit tenaga listrik surya serta angin juga tidak akan seefisien nuklir serta teknologi energi konvensional lainnya. Angin tak selalu bertiup dan cahaya matahari tak selalu sampai, kapasitas efektif pembangkit listrik tenaga angin dan surya bisa 30 persen atau kurang. Sehingga diperlukan beberapa sumber lain untuk menjadi pasokan cadangan ketika salah satu sumber energi yang digunakan tidak cukup untuk memasokkan pasokan ke dalam rumah kita.
Berapa Banyak Tenaga Yang Kita Butuhkan?
Itulah jumlah energi yang kita butuhkan. Kita harus menutup kekurangan energi yang diakibatkan energi terbarukan yang kurang efisien. Tidak hanya itu, hampir semua energi terbarukan selain nuklir, membutuhkan lahan yang lebih luas daripada bahan bakar fosil.
Bisa dilihat bahwa 1 meter persegi bahan bakar fosil dapat menghasilkan 5000 kali lipat lebih banyak dibandingkan tenaga pembangkit listrik angin.
Inovasi yang ada di energi terbarukan masih cukup sedikit, inovasi dibutuhkan agar teknologi efisien, mutakhir, dan semakin murah. Dengan alasan yang saya sebut sebelumnya sulit rasanya bisa bersaing dengan bahan bakar fosil. Inovasi ini tidak akan terjadi jika, tidak ada orang yang berinvestasi ke dalam energi terbarukan. Pada tahun 2015, pendanaan swasta untuk industri tersebut mengering. Banyak perusahaan modal ventura yang tadinya berinvestasi di industri tersebut keluar, dikarenakan hasilnya sangat rendah. Energi bersih bagi penanam modal yang ingin menanam modalnya, tidak semenarik industri teknologi informasi. Industri teknologi bersih memiliki keuntungan jangka panjang, dengan resiko kerugian yang cukup besar. Belum lagi kebijakan pemerintah yang menyulitkan, tak mendukung, dan tak mempermudah energi bersih untuk diimplementasikan di khalayak ramai. Hal ini membuat industri teknologi hijau tidak se-seksi komputer ataupun tangan robot.
Masyarakat tidak akan mempan jika hanya di beri teknologi dengan dampak positif dari lingkungan saja. Pada umumnya masyarakat tidak akan mempertimbangkan pembelian barang tersebut, masyarakat akan mempertimbangkan pembelian barang tersebut ketika memiliki dampak positif dari segi ekonomi. Ketika manusia mulai berhenti membakar kayu dan mulai menggunakan batu bara, itu bukan karena kita dapat lebih banyak dan cahaya dari satu kilogram batu bara dibanding satu kilogram kayu. Manusia beralih, karena batu bara lebih murah dan lebih kuat dibandingkan kayu. Apa gunanya membeli barang dengan harga yang lebih mahal, sementara ada barang yang lebih murah dan dapat melakukan hal yang sama, atau bahkan lebih efektif daripada barang yang lebih mahal. Pertimbangan utama dalam arena pasar, yang paling utama itu ekonomi, bukan lingkungan hidup.
Agar teknologi hijau berhasil di pasaran dan dapat diimplementasikan dalam setiap lapisan masyarakat, diperlukan penekanan harga pada premium hijau. Premum hijau adalah harga tambahan yang dibebani ketika memilih alternatif ramah lingkungan dibandingkan dengan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Harga premium hijau dikatakan bagus atau buruk dapat dilihat dari selisihnya. Misalnya harga minyak bahan bakar fosil adalah 10.000 sedangkan alternatif minyak yang ramah lingkungan berharga 20.000 berarti premium hijaunya adalah 100%. Agar premium hijau berhasil di pasaran, defisit harga harus ditekan menjadi 0% atau dibawah 0% yang berarti minus.
Hal ini bisa dilihat, premium hijau baru lebih murah daripada yang tidak ramah lingkungan untuk peralatan gedung; AC, pemanas air, pompa air, dll. Sedangkan untuk transportasi, agrikultur, manufaktur, listrik, masih cukup mahal.
Biaya tenaga surya dan angin turun dalam dasawarsa belakangan: Panel surya, misalnya, menjadi hampir 10 kali lebih murah antara 2010 dan 2020, sedangkan harga sistem tenaga surya lengkap turun 11 persen pada 2019 saja. Walau harga panel surya dan angin sudah 10 kali lebih murah, tetapi kita masih perlu untuk menjadikan energi tersebut lebih murah lagi, dibandingkan energi alternatif lainnya (bahan bakar fosil). Banyak penurunan disebabkan kita belajar sambil jalan. Dengan mengajak investor untuk menanam modal di energi terbarukan, maka akan lebih banyak dana yang digelontorkan dalam tujuan untuk penelitian dan inovasi energi terbarukan. Fakta sederhana bahwa makin sering kita membuat suatu produk, maka Learning Curve kita semakin tinggi, semakin baik kita membuatnya, semakin murah, dan semakin efisien dalam penggunaan.
Inovasi bukan hanya perihal menciptakan mesin atau proses baru, selama ini inovasi hanya dipandang dari segi teknologi secara sempit. Inovasi itu mencakup penciptaan pendekatan baru model bisnis, pasar, rantai pasokan, dan kebijakan yang membantu ciptaan baru bermunculan dan mencapai skala global. Dengan kata lain inovasi bisa disingkat menjadi satu kalimat, inovasi adalah barang baru dan cara baru melakukan berbagai hal.
Ada 3 aturan yang ditulis Bill Gates dalam bukunya How to Avoid a Climate Disaster. Aturan ini harus diikuti agar kita dapat mencegah perubahan iklim. “Dalam beberapa tahun penelitian, saya telah menjadi yakin akan tiga hal: 1. Untuk menghindari bencana iklim, kita harus mencapai nol. 2. Kita perlu menggunakan alat-alat yang kita sudah punya, seperti energi surya dan angin, lebih cepat dan cerdas. 3. Dan kita perlu menciptakan teknologi terobosan yang bisa membawa kemajuan.” Dengan berfokus kepada tiga hal tersebut, kita dapat mencegah perubahan iklim. Walau butuh perjuangan yang cukup berat, tetapi mau tidak mau kita harus mengikutinya dengan tujuan untuk mencegah perubahan iklim.
Tampaknya akan sulit rasanya untuk mencegah perubahan iklim. Teknologi energi terbarukan masih kurang peminat di pasaran. Dunia manusia yang terikat pada hukum pasar yaitu penawaran dan permintaan, tampaknya berlaku juga untuk teknologi energi terbarukan yang akan membantu manusia mempertahankan eksistensi spesiesnya. Belum lagi, untuk membuat inovasi serta menumbuhkan minat akan energi terbarukan di pasaran membutuhkan waktu, masalahnya manusia tidak memiliki waktu. Untuk itu manusia harus melakukan segala hal, secepat-cepatnya untuk menuntaskan masalah ini.
Dari tahun ke tahun manusia selalu bisa menyelesaikan masalah di masa lampau dengan inovasi mereka. Pada 1968, ahli biologi Amerika Paul Ehrlich ‘meramal’ dengan menerbitkan bukunya yang berjudul The Population Bomb, ia mengambarkan distopia dengan mengatakan bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an di India ratusan juta orang akan mati dikarenakan kelaparan, sudah tidak terelakkan lagi menurutnya walaupun pemerintah sudah melakukan program darurat yang dimulai dari sekarang. Sayangnya ramalan itu tidak pernah terwujud, inovasi yang dilakukan Norman Borlaug, ahli tumbuhan berhasil merevolusi agrikultur dan meningkatkan produksi pangan. Jika belajar dari sejarah tidak ada salahnya kita meramal bahwa pencegahan iklim bisa dilakukan manusia. Ini bukan jaminan. Ini hanya harapan, yang berdasarkan kejayaan manusia di masa lalu.
Source:
How to Avoid a Climate Disaster — Bill Gates
Hot, Flat and Crowded — Thomas L. Friedman
https://www.breakthroughenergy.org/our-challenge/the-green-premium
https://www.gatesnotes.com/Energy/Transitioning-to-the-green-economy